FFP

Kembalikan Indonesia Padaku

December 10th, 2024

Saya adalah penikmat sastra

Kecintaan ini diwariskan oleh Mama, seorang pencipta dan pembaca puisi yang hingga kini masih aktif berkarya. Pada peringatan Hari Guru kemarin, Mama mendapat penghargaan dalam lomba baca dan cipta puisi. Sayangnya, bakat tampil di depan banyak orang tidak ikut menurun kepada saya.

Berbicara tentang Mama adalah berbicara tentang warisan yang tidak tertulis: cinta akan tanah air. Sejak kecil, kami tak pernah absen menonton upacara 17 Agustus di televisi. Kami selalu penasaran dari mana asal Pembawa Baki tahun itu. Saya masih ingat betul saat Mama dengan bangga bercerita bahwa salah satu muridnya waktu SMP pernah terpilih menjadi Pembawa Baki. Ada sinar kebanggaan di matanya, seolah ia ikut mengantarkan Sang Merah Putih berkibar.

Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya dewasa. Sebelum menjadi PNS, saya sempat iri melihat orang lain bisa ikut upacara di kantor mereka. Namun, setelah resmi menjadi ASN, rasa itu bergeser menjadi kelelahan โ€” karena repotnya persiapan dan intensitas upacara yang sering diadakan. Wkwk. Mau bagaimana lagi? ๐Ÿ˜…

Saking besarnya cinta Mama pada Indonesia, setiap kali saya melontarkan kritik tentang bagaimana negara ini dijalankan, beliau langsung naik darah. Pernah suatu kali saya berkata dengan nada provokatif, โ€œNegara itu tidak ada, Ma. Yang ada cuma sekelompok orang yang berpolitik demi kepentingan mereka sendiri. Jelata seperti kita urus diri sendiri.โ€

Wah, Mama langsung marah. "Jangan aneh-aneh!โ€ katanya dengan nada serius. Beliau hanya seorang guru, mungkin jauh dari hiruk-pikuk drama birokrasi yang saya temui di tempat kerja. Tetapi ada kesederhanaan dalam keyakinannya, keyakinan yang tidak tergoyahkan oleh apapun.

Nasionalisme dan puisi seolah berpadu saat Mama menghadiahkan saya sebuah buku kumpulan puisi Taufiq Ismail. Saya terpesona oleh kekuatan bahasa dan kedalaman kritik sosial yang terbungkus dalam bait-bait puitisnya. Salah satu puisi favorit yang terus teringat adalah Kembalikan Indonesia Padaku.

Baris-barisnya adalah cermin: melukiskan keresahan yang, entah bagaimana, masih terasa dekat hingga hari ini. Seperti suara masa lalu yang tetap menggema, mengingatkan kita bahwa cinta kepada negeri tidak pernah sesederhana bendera yang berkibar โ€” ia adalah perjuangan yang hidup dalam hati, kata, dan tindakan kita sehari-hari.


Kembalikan Indonesia Padaku

Oleh: Taufiq Ismail

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan Indonesia padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan Indonesia padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,\

Kembalikan Indonesia padaku


Puisi ini seperti cermin, menggambarkan keresahan yang masih relevan hingga kini. Baris-barisnya yang sarat makna membuat saya merenungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan negeri ini.

Seperti puisi itu, mungkin kita semua sesekali perlu berhenti sejenak, merenung, dan bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk Indonesia?

Sebagai ASN, melakukan yang terbaik bisa berarti memberikan pelayanan publik yang jujur, cepat, dan profesional, meskipun terkadang ada keterbatasan. Sebagai staf, melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab adalah bentuk nasionalisme yang nyata.

Bagi seorang pimpinan, tanggung jawab itu meluas: tidak hanya memastikan target tercapai, tetapi juga menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik. Memberikan ruang bagi bawahan untuk belajar, tumbuh, dan bersinar adalah warisan yang mungkin tidak langsung terlihat, tetapi akan terus hidup dalam langkah-langkah mereka di masa depan.

Mungkin, itulah yang bisa kita lakukan untuk "mengembalikan Indonesia" pada cita-citanya: sebuah negeri yang terus bergerak maju karena kontribusi setiap tangan yang bekerja dengan tulus, di manapun mereka berada.